Sabtu, 10 Oktober 2009

artikel sosial


Lebaran dan mudik
Setiap tahunnya pada bulan agustus sampai dengan September, umat muslim di Indonesia melakukan ibadah puasa dan disusul oleh hari raya lebaran. Dan itu rutin dijalani oleh kira-kira ¾ warga Indonesia yang berjumlah sekitar 250.000.000 jiwa. Ibadah puasa dijalani sebulan penuh oleh umat muslim. Dan bagi umat non muslim (seperti saya) pun sudah terbiasa untuk menghormati umat muslim yang sedang beribadah puasa tanpa makan dan tanpa minum. Antara lain dengan cara tidak mengkonsumsi makanan dan minuman di tempat-tempat umum dan tempat keramaian, karena bisa menggoda yang sedang berpuasa. Kadang-kadang saya berpikir untuk memposisikan diri seperti seorang muslim yang berpuasa, rasanya saya tidak akan cukup kuat untuk tidak makan apalagi tidak minum bahkan untuk waktu beberapa jam saja. Jadi saya cukup salut dengan orang yang kuat berpuasa 1 bulan penuh. Nah, saat ibadah puasa berakhir, saatnya untuk lebaran dan mudik pulang kampung. Ini bisa dibilang salah satu budaya Indonesia. Dan kalender tiap tahunnya tidak mungkin tidak mencantumkan libur lebaran sebagai hari libur nasional. Ini membuat umat non muslim mendapat berkah pula, yaitu libur cukup lama, bisa mencapai 2 minggu. Lebaran juga tidak dapat lepas dari yang namanya THR (tunjangan hari raya). Setahu saya thr itu sebesar uang gaji 1 bulan. Jadi bekerja 1 bulan mendapat upah 2 bulan. Menurut saya hal itu sah dan wajar-wajar saja. Alasannya adalah seorang pemudik membutuhkan biaya berlipat-lipat untuk pulang kampung, mulai dari biaya transportasi, sedekah, oleh-oleh untuk sanak saudara di kampung, berlibur saat di kampung, dll. Pertanyaannya sekarang mengapa harus ada mudik? Apakah mudik itu perlu? Mungkin mayoritas orang akan menjawab bahwa mudik adalah satu-satunya kesempatan untuk pulang ke kampung bertemu anak, suami, istri, orangtua, dan sanak saudara lainnya. Mungkin karena jarak tempat bekerja dan kampung halaman sudah antar kota, antar propinsi, bahkan antar pulau. Sehingga beberapa orang tidak mungkin pulang kampung bila tidak ada lebaran. Lalu yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah apabila ada mudik, pasti ada macet. Tidak mungkin tidak. Kalau tidak macet maka bukan mudik namanya. Karena banyak yang menggunakan kendaraan pribadi, yaitu motor dan mobil, maka kemacetan tidak dapat dihindari. Bahkan ada juga kemacetan “di dalam” yaitu apabila kita mudik dengan transportasi umum, seperti kereta dan bis. Tetapi pesawat terbang mendapat pengecualian. Apabila kita melihat berita di televisi, dapat kita lihat penumpang kereta api sudah melewati batas. Bergelantungan di pintu gerbong dan duduk di atas gerbong seperti sudah biasa, padahal hal itu sungguh berbahaya. Kalau untuk bis, masalahnya antara lain telat datang dan kekurangan armada untuk mengangkut penumpang. Kebanyakan pemudik berasal dari Jakarta. Menurut saya persentasenya adalah 80%. Buktinya saat lebaran, Jakarta terlihat sangat sepi, berbeda dengan biasanya. Itupun belum termasuk bagi yang tidak pulang kampung. Ini tentu dikarenakan Jakarta adalah ibukota Indonesia. Pusat industry, perdagangan, teknologi Indonesia. Bisa dibilang kalau ingin sukses, maka datanglah ke Jakarta. Maka itu banyak perantau dari luar daerah yang mencari peruntungan di Jakarta. Seakan-akan di tempat lain sudah tidak ada lapangan pekerjaan. Menurut saya, ini menimbulkan efek positif dan efek negatif. Efek positifnya, hal ini dapat memajukan, memodernkan Jakarta. Efek negatifnya adalah kemacetan, polusi, dan kriminalitas. Lalu kemanakah tujuan para pemudik tersebut? Banyak yang pulang ke jawa barat, jawa tengah, jawa timur. Kalau tidak salah ada jalur nagrek dan jalur pantura (pantai utara) sebagai jalur utama. Harapan saya adalah semoga pemerintah dapat meningkatkan keamanan dan keselamatan saat mudik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar